HUKUM ADAT
Terminologi
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Disatu pihak
ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.
Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena
menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih
2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A
berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.
Perdebatan
istilah Hukum Adat
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck
Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum
Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam
bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat
Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr.
Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang
pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat
istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch
Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi
mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling
(Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda,
pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal
adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah
teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan
dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku
dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun
perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja,
untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum
Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid
Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai
lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena
penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah
manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat
Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia
dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan
bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang bernama
Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun
1630.[2] Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh
Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum
yang baik.
Perdebatan
Definisi Hukum Adat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan
(perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara
(kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri
atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan
menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa
Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan
hukum kebiasaan.[3]
Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat
diartikan sebagai hukum kebiasaan.[4] Menurutnya hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya
orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu
peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van
Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki perbedaan.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya
merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das
sein das sollen).[5] Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan
yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige
Ordening Der Semenleving.
Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya
Beslissingenleer (teori keputusan)[6] mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup
seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para
pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam
pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh
mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa
sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat
timbul dari keputusan warga masyarakat.
Syekh Jalaluddin[7] menjelaskan bahwa hukum adat
pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada
pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang.
Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak
tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah
ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya
suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Definisi
Hukum Adat
Prof.
Mr. Cornelis van Vollenhoven
Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat
adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai
sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).
Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan
sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak
lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat
berarti sebagai berikut.
menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi
undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan
hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yg
baku.
menurut Prof.
Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah /
lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian
diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang
mungkin terjadi).
Ter
Haar
Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan
pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.
Hukum adat lahir
dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama
keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan
kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama
dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya
ditoleransi.[8]
Hukum adat yang
berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua
kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah
hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu
didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan
nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan tersebut.[9]
Lingkungan
Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi
19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar,
corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap
lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut
Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai
berikut.
Aceh (Aceh Besar,
Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
Tanah Gayo, Alas
dan Batak
Tanah Gayo
(Gayo lueus)
Tanah Alas
Tanah Batak
(Tapanuli)
Tapanuli
Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir,
Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
Tapanuli
Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
Nias (Nias
Selatan)
Tanah Minangkabau
(Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
Mentawai (Orang
Pagai)
Sumatera Selatan
Bengkulu
(Renjang)
Lampung
(Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu,
Pasemah, Semendo)
Jambi (Orang
Rimba, Batin, dan Penghulu)
Enggano
Tanah Melayu
(Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
Bangka dan
Belitung
kalimantan (Dayak
Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak
Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat
Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung
Punan)
Gorontalo (Bolaang
Mongondow, Boalemo)
Tanah Toraja
(Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali,
Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
Sulawesi Selatan
(Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
Kepulauan Ternate
(Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
Maluku Ambon
(Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru,
Kisar)
Irian
Kep. Timor
(Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur,
Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
Bali dan Lombok
(Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok,
Sumbawa)
Jawa Pusat, Jawa
Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya,
Madura)
Daerah Kerajaan
(Surakarta, Yogyakarta)
Jawa Barat
(Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)[10]
Penegak
hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang
sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk
menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Aneka
Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
Agama : Hindu,
Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali
dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku
dipengaruhi agama Kristen.
Kerajaan seperti
antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
Masuknya
bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan
Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang
sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat
merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus
sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh
kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat
ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia
sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku
Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau
mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana
terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan
dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah
diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam
pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta
langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip
pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut
meliputi :
Penyamaan persepsi
mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
Kriteria dan
penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum
adat (Pasal 2 dan 5).
Kewenangan
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di
bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat.
Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat
untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan
landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi,
diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait
adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat
dalam kepemilikan tanah.
Referensi
^ Prof. Dr.
Mohammad Koesnoe, S.H. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
^ Syekh Jalaluddin
bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani. Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam
(Bahtera Segala Hakim dalam Menyelesaikan Segala Orang Berkesumat/Bersengketa)
^ H. Noor Ipansyah
Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. Hukum Adat. Hal. 15.
^ Syekh Jalaluddin.
Safinatul Hukam fi Tahlisil Khasam
^ Ter Haar.
Peradilan Lanraad berdasarkan Hukum Tak Tertulis. Dalam pidato Dies Natalies.
1930.
^ Ter Haar. Hukum
Adat Hindia Belanda didalam Ilmu, praktek dan pengajaran Hukum Adat itu dengan
mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis dan keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa
serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi
sepenuh hati. Dalam orasi. 1937.
^ H. Noor Ipansyah
Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. Hukum Adat. Hal. 76-78. (disadur dari
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven)
Daftar
Pustaka
Pengantar Hukum
Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
Hilman H, 1992,
Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
Mahadi, 1991,
Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Moh. Koesnoe,
1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University
Press.
Seminar Hukum
Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
Soerjo W, 1984,
Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
Soemardi Dedi, SH.
Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
Soekamto Soerjono,
Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT,
Bandung 1993
Djamali Abdoel R,
SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
Tim Dosen UI, Buku
A Pengantar hukum Indonesia