Hukum internasional modern sebagai suatu
sistem hukum yang mengatur hubungan antar negara telah tumbuh hanya dalam masa
empat ratus tahun terakhir. Biasanya diambil sebagai awal lahirnya hukum
internasional modern, yaitu pada saat ditandanganinya Perjanjian Perdamaian
West Phalia, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa, tahun 1648.[29]
Akan tetapi, jika hukum internasional
diartikan dalam arti luas yang mencakup pula hukum bangsa-bangsa (law of
nations), maka hukum internasional sangat tua usianya. Sam Suhaedi Admawira
menyebutkan bahwa sejak tahun 5000 SM, sebelum terbentuknya sistem kenegaraan
Romawi (tahun 117) dan Yunani (431 SM)
di lembah Tigris dan Furat telah berdiri Kerajaan Sumeria. Pada waktu bersamaan
di sekitar Lembah Nil sudah berdiri negara-negara kota, akan tetapi baru bisa
dipersatukan oleh Menes pada tahun 3200 SM. Negara-negara kota yang terkenal
dari segi hukum bangsa-bangsa adalah Uma dan Lagash. Pada tahun 3100 SM di
antara kedua kerajaan ini diadakan perjanjian perdamaian, yang pada masa
sekarang dapat disebut sebagai perjanjian internasional. Perjanjian lainnya,
dibuat antara Raja Rattusilish III dari Kerajaan Hittite dengan Raja Ramses II
dari Kerajaan Mesir. Perjanjian ini berisi kesepakatan tentang pemeliharaan
perdamaian yang kekal, penghapusan perang, dan persekutuan.[30]
Di lingkungan kebudayaan India Kuno
terdapat kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku
bangsa dan raja-raja. Kerajaan-kerajaan di India pada masa beberapa abad
sebelum Masehi sudah mengadakan hubungan satu dengan lainnya. Adat kebiasaan
yang mengatur hubungan di antara para raja itu disebut Desa Dharma.
Gautamasutra (abad VI SM) merupakan salah satu karya tertua di bidang hukum,
berisi hukum kerajaan, hukum kasta dan hukum keluarga. Undang-undang Manu (abad
V SM) juga menyebut hukum kerajaan. Hukum bangsa-bangsa di zaman India Kuno
juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja
atau kerajaan demikian, mengatur ketentuan kedudukan dan hak-hak istimewa
diplomat, perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja, dan hukum perang.[31]
Lingkungan kebudayaan lain yang telah
mengenal semacam hukum bangsa-bangsa adalah kebudayaan Yahudi. Dalam Kitab
Perjanjian Lama mereka sudah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian,
perlakuan orang asing dan cara melakukan perang. Hanya saja, dalam yang disebut terakhir ini, dalam hukum
Yahudi dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan terhadap mereka yang
digolongkan sebagai musuh bebuyutan.
Dalam kebudayaan Yunani terdapat
aturan-aturan yang melindugi bentara (combattant) di dalam perang. Menurut
hukum perang pada waktu itu para bentara tidak boleh diganggu gugat, perang
harus diumumkan lebih dahulu, dan para tawanan dapat dijadikan budak.
Masyarakat Yunani juga sudah mengenal lembaga perwasitan, dan diplomasi yang
tinggi tingkat perkembangannya, menggunakan wakil-wakil dagang yang disebut
konsul. Sumbangan paling berharga yang diberikan kebudayaan Yunani adalah
konsep hukum yang bersifat mutlak dan mendunia yang berasal dari akal manusia.
Konsep hukum alam yang dikembangkan para filsuf pada abad III M. diteruskan ke
Roma. Dan, dari Roma diteruskan ke
suluruh dunia. Hukum alam ini memegang peranan penting dalam perkembangan hukum
internasional, yang setelah terdesak oleh ajaran positivist bangkit kembali
setelah Perang Dunia II dalam wujud asas-asas hukum umum.
Pada masa imperium Romawi hukum
internasional tidak mengalami perkembangan pesat. Ini disebabkan, karena pada masa
itu masyarakat dunia merupakan suatu imperium, yang menguasai seluruh wilayah
di dalam lingkungan imperium Romawi. Akibatnya, tak ada tempat bagi
kerajaan-kerajaan yang terpisah dan tentunya dengan hukum bangsa-bangsa yang
mengatur hubungan itu. Terhambatnya perkembangan hukum internasional pada masa
ini, disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu :
1.
kesatuan duniawi dan rohani sebagian Eropa di bawah imperium Romawi Suci;
2.
struktur feodal Eropa Barat yang terikat pada suatu jenjangwibawa yang menghambat
timbulnya negara-negara merdeka dan mencegah negara-negara untuk memperoleh
sifat unitaris dan wibawa negara-negara modern.
Sekalipun demikian, hukum Romawi
telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional.
Istilah ius gentium yang berasal dari bahasa Latin merupakan sumbangan hukum
Romawi.[32] Konsep-konsep mengenai occupatio, servituut, bonafides, dari hukum
perdata, dan asas pacta sunt servanda berasal dari hukum atau kebudayaan
Romawi.[33] Jadi, sumbangan Romawi terhadap hukum internasional tidak terletak
pada ketentuan-ketentuan hukumnya, tetapi terletak pada konsep-konsep hukumnya,
yang menampilkan analogi dan sendi-sendi yang dapat menyesuikan diri secara
langsung dengan pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern.
Pada abad pertengahan terdapat dua
lingkungan kebudayaan di luar Eropa Barat, yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia
Islam. Kekaisaran Byzantium, karena posisinya yang lemah mempraktikkan
diplomasi untuk mempertahankan supremasinya, yang merupakan sumbangan
terpenting dari kekaisaran Byzantium.
Sumbangan terpenting yang diberikan
Dunia Islam adalah di bidang hukum perang. Perang menurut konsep Islam
dibenarkan untuk membela diri, menghilangkan tindakan sewenang-wenang, dan
menghilangkan tindakan fitnah. Selain itu, dalam Islam telah diperkenalkan
perlakuan yang baik terhdap tawanan perang (Q.II, 190, 191). Tawanan perang
dapat dibebaskan baik melalui pertukaran, perkawinan, atau karena memberikan
sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh tawanan
perang. Perbudakan atas tawanan perang bukan berasal dari Islam tetapi hanya
sebagai tindakan timbal balik dan
pembalasan (reciporocity).[34] Dalam hukum Islam mengenai sudah dikenal
larangan menyerang orang tua, anak-anak dan perempuan. Islam, sebagaimana
ditunjukkan oleh sabda Rasul, dan praktik Sahabat melarang mencincang mayat
musuh, tetapi memerintahkan untuk menguburkan mereka dengan sebaik-baiknya,
melarang tindakan khianat, mengingkari janji, melakukan pembakaran, merusak
pohon, menyembelih membunuhi hewan-hewan ternak kecuali untuk kebutuhan makan,
dan memelihara tempat-tempat ibadah.[35] Dan, hubungan antar bangsa, berupa
hidup bertetangga secara baik diatur di dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13.
Sementara itu, di Eropa Barat hukum
internasional pada Abad Pertengahan dikuasai oleh sistem feodal dan keagamaan
di bawah Paus sebagai penguasa tertinggi. Aturan hukum kegerejaan dihimpun di
dalam Corpus Juris Canonici, yang menempatkan hukum Gereja di atas negara.
Doktrin ini ditentang Marthin Luther, lewat gerakan Protestan yang menghendaki
reformasi (pembaharuan). Keadaan ini menimbulkan perang agama selama 30 tahun,
dan berakhir pada tahun 1647 dengan diadakannya Perjanjian Perdamaian West
Phalia.[36]
Dengan pertumbuhan sejumlah
negara merdeka di Eropa, dimulailah
perkembangan modern hukum internasional. Yang dipandang sebagai titik pangkal
pertumbuhan negara modern dan perkembangan baru di bidang hukum internasional
adalah Perjanjian Perdamaian West Phalia. Perjanjian West Phalia dipandang
sebagai peletak dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas
negara-negara nasional, karena:[37]
1.
Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun perjanjian West Phalia telah
meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang terjadi karena perang itu di
Eropa;
2. perjanjian perdamaian itu mengakhiri
selama-lamanya usaha kaisar Romawi yang suci (the Holy Roman Emperor) untuk
menegakkan kembali imperium Romawi yang suci;
3.
hubungan negara dilepaskan dengan gereja dan didasarkan atas kepentingan
nasional negara yang bersangkutan;
4.
kemerdekaan Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui oleh
Perjanjian West Phalia.
Perjanjian West Phalia merupakan
titik puncak dari proses yang sudah dimulai sejak Abad Pertengahan, yaitu
gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya perebutan
kekuasaan duniawi antara negara dan gereja. Dengan demikian, kita dapat
menempatkan perjanjian West Phalia di dalam keseluruhan kerangka sejarah. Ini,
akan dapat menghindarkan timbulnya kekeliruan seolah-olah sebelum perjanjian perdamaian tersebut tidak ada
negara nasional. Padahal sebelum perjanjian perdamaian West Phalia telah ada
kerajaan-kerajaan kecil di samping tiga negara besar di Eropa Barat yaitu:
Perancis, Spanyol dan Inggris dan beberapa masyarakat di pinggiran masyarakat
Kristen Eropa seperti Skandinavia dan Rusia.
Masyarakat internasional baru yang
terbentuk setelah Perjanjian West Phlia memiliki ciri-ciri yang membedakannya
dengan susunan masyarakat Kristen Eropa di abad pertengahan yang berdasarkan
feodalisme. Ciri-ciri tersebut adalah:[38]
1.
Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. setiap negara memiliki
kekuasaan tertinggi yang ekseklusif di dalam wilayahnya;
2.
Hubungan-hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas persamaan
derajat;
3.
Tidak ada kekuasaan di atas negara yang diakui oleh masyarakat negara-negara;
4.
Hubungan antar negara berdasarkan atas hukum yang banyak diambil alih dari lembaga-lembaga
hukum perdata Romawi;
5.
Negara-negara mengakui adanya hukum internasional yang mengatur hubungan
negara-negara itu tetapi menekankan
peranan yang besar yang dimainkan negara di dalam mematuhi hukum ini;
6.
Tidak ada pengadilan (internasional) dan polisi internasional yang memaksakan
ditaatinya hukum internasional;
7.
Anggapan terhadap perang bergeser dari segi keagamaan ke doktrim bellum justum
sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran bahwa perang merupakan salah satu
penggunaan kekerasan (selain represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk
mencapai tujuan nasional (perang yang benar).
Dasar-dasar Perjanjian West Phalia
kemudian diperkuat oleh Perjanjian
Utrecht (1713) yang menekankan bahwa keamanan atau perdamaian dapat dipulihkan
lewat keseimbangan kekuasaan yang adil (justum potentiae equalibrium) yang
dapat dipakai sebagai landasan persahabatan yang kekal.[39]
Dengan pertumbuhan negara-negara
merdeka tersebut dilakukan proses pembentukan aturan-aturan hukum kebiasaan
internasional dalam hubungan timbal balik di antara negara-negara tersebut. Di
Italia misalnya, banyak negara kecil yang merdeka, mengadakan hubungan
diplomatik satu dengan lainnya atau dengan dunia luar. Hubungan-hubungan ini
melahirkan aturan hukum kebiasaan di bidang diplomatik seperti, pengangkatan,
penerimaan dan kekebalan utusan diplomatik.[40]
Di penghujung abad ke-15 dan 16 sudah
banyak para ahli hukum yang mengarahkan perhatiannya pada perkembangan
masyarakat negara-negara berdaulat, memikirkan dan menulis aneka masalah hukum
bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya aturan hukum yang mengatur segi-segi
hubungan antara negara-negara. Para penulis tersebut adalah Vittoria
(1480-1546), teoloog pada Universitas Salamanca, Belli (1502-1575) dan Gentilis
(1552-1608) dari Italia, Brunus (1491-1563) dari Jerman, Fernando Vasquez de
Mancaca (1512-1569) dari Spanyol, Baltazar Ayala (1548-1584) dan Suarez (1548-1617) dari Spanyol, dan
Grotius (1583-1645), ahli hukum dari
Belanda.
Dari sekian banyak penulis
tersebut, Grotiuslah yang dipandang
sebagai bapak hukum internasional. Ini
disebabkan karena ajarannya memiliki nilai intrinsik yang tinggi dan sesuai dengan panggilan jaman.
Ajarannya didasarkan pada hukum alam yang telah disekulerkan. Ia
memberikan tempat yang penting bagi negara-negara nasional. Selain itu, ia
banyak menempatkan praktik negara dan perjanjian antar negara di samping hukum
alam yang diilhami akal manusia sebagai sumber hukum alam. Dialah yang
meletakkan dasar-dasar bagi sistematika pembahasan hukum internasional, yang
sebagian besar, masih diikuti sampai sekarang. Karyanya yang terpenting di
bidang ini adalah De Jure Belli ac Pacis.
Akan tetapi, tidak semua ahli hukum
internasional menyetujui Grotius sebagai bapak hukum internasional. Oppenheim
misalnya, menyatakan bahwa sebutan bapak hukum internasional kepada Grotius
berlebihan. Sebab, sebelum Grotius sudah ada sarjana yang menulis di bidang
hukum internasional. Sarjana-sarjana itu adalah Francisco Vittoria dan Alberico
Gentili.[41] Beberapa penulis lainnya juga menolak pendapat bahwa Grotius
sebagai bapak hukum internasional. Ini didasarkan pada alasan bahwa Grotius
banyak mendapat ide dari tulisan-tulisan Gentilis, dan ia mengikuti
tulisan-tulisan Gentilis, Ayala dan penulis-penulis lain. Memang, baik Grotius
maupun Gentilis banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis sebelumnya.[42]
Penulis-penulis terkemuka setelah
Grotius di abad ke-18 yang besar pengaruhnya bagi perkembangan hukum internasional
adalah Zouche (1590-1660), Guru Besar Hukum Perdata di Oxford, Pufendorf
(1632-1694), Guru Besar Universitas Heidelberg, Binkershoek (1673-1743),
seorang ahli hukum Belanda, Christian Wolf (1609-1764), seorang ahli hukum dan
filsafat Jerman dan Emerich Vattel (1714-1767), seorang ahli hukum dan diplomat
berkebangsaan Swiss. Mereka pada umumnya digolongkan ke dalam aliran hukum alam
dan positivist.
Pufendorf dan Wolf adalah para
penganaut aliran hukum alam. Menurut Pufendorf, hukum internasional merupakan
bagian dari hukum alam yang berpangkal pada akal manusia, yang mengatur
kehidupan manusia kapan dan di mana saja ia berada, baik ia hidup berorganisasi
di dalam negara atau tidak. Christian Wolf mengemukakan teori Civitas Maxima.
Teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum dunia yang belaku pada
Negara Dunia, yang meliputi
negara-negara di dunia. Sebaliknya, Zouche, Binkershoek dan von Martens adalah
penganut positivist. Mereka mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum
yang terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian. Sekalipun tidak menolak
hukum alam secara mutlak.[43]
Emerich Vattel dapat digolongkan
sebagai aliran eclectic, yakni aliran yang memilih segi-segi baik dari kedua
aliran tersebut. Karya Vattel memiliki pengaruh besar bagi perkembangan hukum
internasional di kemudian hari, utamanya di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya
penting karena:[44]
1.
tulisannya banyak memuat adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang sangat
berharga sebagai sumber atau bukti hukum;
2.
tulisan-tulisannya memiliki sumbangan yang besar dalam menjelaskan pengertian
dan pengembangan konsep dan pembahasan
persolan hukum internasional secara sistematis.
Revolusi Perancis dan Amerika pada
akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga mempengaruhi perkembangan hukum
internasional lewat internasionalisasi hubungan antar bangsa (Eropa, Amerika,
Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan antar bangsa
ini melahirkan asas-asas
dan gagasan-gagasan baru yang memperkaya hukum internasional.
Gagasan-gagasan tersebut antara lain: hak suatu bangsa untuk mengubah atau
menyusun pemerintahannya, serangan kepada suatu negara dianggap sebagai
serangan terhadap semua bangsa, kepentingan manusia di atas kepentingan negara,
perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]
Selanjutnya melalui Kongres Wina
(1815) yang mengakhiri Perang Napoleon ditetapkan kembali garis batas
negara-negara di Eropa di samping larangan perbudakan secara internasional. Di
bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol yang disebut Protokol Aix-la-Capelle
(1818) yang masih bertahan sampai sekarang.
Perlawanan terhadap Napoleon digalang
lewat Persekutuan Sempurna atau lebih terkenal dengan sebutan the Consert of
Europe. Negara-negara sekutu ini terdiri atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia,
dan setelah tumbangnya Napoleon ditambah dengan Perancis. Melalui Concert of
Europe ini ditingkatkan kerjasama di Eropa dalam berbagai bidang berdasarkan
hukum internasional.[46]
Di antara negara-negara besar di
Eropa sendiri terjadi pertentangan internal, antara negara-negara yang ingin
mempertahankan absolutisme dan yang ingin menghapuskannya. Untuk mempertahankan
absolutisme tersebut, negara-negara Austria, Prusia dan Rusia membentuk
Persekutuan Suci (Holy Alliance, 1815) dengan memasukkan segi-segi keagamaan di
dalamnya. Usaha negara-negara ini gagal, karena tidak dapat membendung
pikiran-pikiran baru yang lebih demokratis. Pergolakan yang terjadi di Eropa
merambah pula ke Benua Amerika. Untuk mempertahankan Amerika dari dominasi
Eropa melalui Holy Aliance, dikeluarkan suatu doktrin yang dikenal dengan
sebutan Doktrin Monroe pada tahun 1823. Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak
lagi dipandang sebagai berada di bawah penjajahan Eropa di masa yang akan
datang. [47]
Perkembangan
ini terjadi selama abad ke-19. Abad ini dapat dipandang sebagai puncak kejayaan
dalam tingkat kedewasaan negara nasional. Perkembangan ini sangat didukung oleh munclnya negara-negara baru yang kuat di
Eropa dan di luar Eropa, perluasan peradaban Eropa, pemodernan pengangkutan
dunia, kehancuran dahsyat oleh prang modern dan pengaruh temuan-temuan baru.
Keadaan ini mendesak untuk adanya aturan
yang mengatur perilaku negara dalam urusan internasional. Selama abad ini
terjadi perkembangan yang menonjol di bidang hukum perang dan netralitas,
penyelesaian sengketa melalui lembaga perwasitan, dan timbulnya kebiasaan
negara merundingkan perjanjian umum untuk mengatur kepentingan timbal
balik.[48]
Kejadian terpenting di abad ke-19
dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional adalah Konferensi
Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa tahun 1864. Kedua Konferensi
memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di akhir abad ke-19 (tahun 1899),
yang penting sekali artinya dalam perkembangan hukum internasional. Pentingnya
konferensi-konferensi ini, karena untuk pertamakalinya konferensi
internasionaldipergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi-konvensi
internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian yang berlaku umum dan
dilaksanakan secara berkala.[49]
Perkembangan penting berikutnya,
terjadi pada abad ke-20. Pada permulaan abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den
Haag II, tahun 1907. Hasil terpenting
dari Konferensi Perdamaian Den Haag I dan II selain dari Konvensi-konvensi di
bidang hukum perang adalah dibentuknya
Mahkamah Arbitrasi Permanen. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah
Internasional Permanen, yang setelah bubar pada tahun 1946 digantikan oleh
Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun 1945.[50]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
Konferensi Perdamaian Den Haag 1899 dan 1907
mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap
konsolidasi. Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:[51]
1.
Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas
kebangsaan telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan
masyarakat internasional yaitu setelah terjadinya perjanjian West Phalia,
kekuasaan nyata negara masih berada di tangan raja; setelah terjadinya revolusi
Perancis kekuasaan yang dipegang beralih ke tangan rakyat sehingga negara
kebangsaan telah benar-benar menjadi negara nasional dalam arti yang
sesungguhnya, bukan lagi kerajaan dalam bentuk baru;
2.
Konferensi-konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk
mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang meletakkan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini
secara berkala merupakan langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional
sebagai masyarakat hukum. Konferensi yang bersifat umum dan universal ini,
sedikit banyak memenuhi fungsi legislatif masyarakat internasional.
Konferensi-konferensi perdamaian ini dapat dipandang sebagai pelopor usaha yang
lebih terarah di kemudian hari kepada pembentukan hukum internasional melalui perjanjian, yaitu uaha kodifikasi
hukum internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
3.
Pembentukan Mahkamah Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian
penting dalam mewujudkan masyarakat hukum internasional. Terbentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen ini
dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antar bangsa di Abad
Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional Permanen ini kemudian diikuti
pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional Permanen tahun 1921, yang
merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut hukum.
Dibentuknya lembaga-lembaga dengan wewenang penyelesaian sengketa internasional
tanpa menggunakan kekerasan senjata, merupakan tanda bahwa masyarakat
internasional telah memasuki tahap kedewasaan. Dari sudut perkembangan
masyarakat hukum kejadian ini penting karena dengan pembentukan kedua Mahkamah
ini berarti telah diambil langkah-langkah pertama dalam memperjuangkan
kekuasaan peradilan sebagai salah satu fungsi yang sangat penting dalam
masyarakat hukum.
Dalam masa sesudah Perjanjian
Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula kejadian-kejadian penting bagi
perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1) Perjanjian Larangan Perang
sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand- Kellog Pact yang diadakan
di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian
Versailles sesudah Perang Dunia I dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang
Dunia II.[52]
Kemunculan dua organisasi
internasional tersebut menambah dimensi baru bagi masyarakat internasional
modern yang sangat penting artinya bagi perkembangan hukum internasional
modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga internasional yang melintasi
batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan tugas di samping dan kadang-kadang
di atas kekuasaan negara nasional.
Tahap berikutnya dari perkembangan
masyarakat dan hukum internasional adalah tahap emansipasi politik
negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu penjajahan ke dalam masyarakat
internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap ini telah dimulai sejak
berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas jajahan, terutama di kawasan
Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara aktif di dalam merumuskan
ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai forum
internasional.[53]
Pada masa sebelum tahap perkembangan
yang disebut terakhir ini, hukum internasional tidak berlaku secara universal
dan seragam. Pada masa ini hukum internasional bekerja pada dua bidang yang
berbeda. Di satu sisi, hukum internasional sesuai dengan tipe hubungan yang
dibentuk di antara bangsa-bangsa beradab (civilized states) dan dunia sisanya, hubungan yang sebagian
besar tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil negara
terhadap negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai dengan
hubungan inter se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara Anggota “Klub”
sejauh klub tersebut menjamin satu
dengan lainnya memiliki kedaultan dan kemerdekaan atas dasar timbal balik penuh
(full reciprocity). Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam lingkungan yang
agak berbeda yang mengatur di satu sisi suatu “masyarakat” internasional yang terbatas pada klub ekslusif, dan di sisi lain, sekumpulan bangsa asing
(overseas peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54]
Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut
sebagai hukum internasional klasik, tidak lain daripada hukum Eropa. Hukum
internasional klasik ini merupakan suatu sistem norma dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham
etik dan agama (hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan
politik (hukum imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu
itu, hukum initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic
law) yang mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada
klub tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan
negara-negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c)
Sejauh mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law
Tidak ada komentar:
Posting Komentar